Mental Blok adalah halangan yang sifatnya psikologis – kognitif (cognitive barrier). Halangan kognitif ini membuat seseorang merasa berat saat akan melakukan sesuatu yang sifatnya baik. Mental blok juga menghalangi seseorang dari mengambil berbagai keputusan yang akan menguntungkan bagi diri kita. Mental Blok yang bersifat internal ini, membuat seseorang merasa takut saat akan melakukan sesuatu yang baru.
Mental Blok ini juga menimbulkan tumbuhnya berbagai kecemasan dan negativitas. Mental Blok ini membuat pengendalian perilaku dan pengendalian emosi tidak berjalan dengan baik. Mental Blok ini juga membuat sikap kita menjadi buruk terhadap orang lain, yang mungkin tidak memiliki kesalahan pada kita.
Mental Blok bisa berasal dari berbagai sumber. Dari apa yang kita lihat atau baca. Dari persepsi kita yang tidak utuh. Dari pengalaman kita sebelumnya. Dari pengalaman orang lain yang dituturkan kepada kita. Seringnya, pengalaman negatif-lah yang disebarkan oleh orang lain. Yang menyebabkan banyak dari kita memiliki ketakutan untuk melakukan suatu hal yang baru. Yang membuat kita takut gagal.
Lalu bagaimana cara untuk meruntuhkan mental blok dan merubah negativitas?
Kecerdasan emosi ala barat semata, tidak bisa dengan mudah membuat kita bisa bangkit dari negativitas dan kemudian bisa menjadi orang yang lebih positif dan baik. Di dalam elemen kecerdasan emosi yang dikemukakan oleh Salovey dari Harvard University di tahun 1990, hanya merumuskan 5 komponen saja, yaitu :
- Kemampuan mengenali emosi diri
- Kemampuan mengenali emosi orang lain
- Kemampuan memotivasi diri
- Kemampuan mengelola emosi diri
- Kemampuan membina hubungan yang baik dengan orang lain.
Namun, lapangan kehidupan tidak hanya terdiri dari sesuatu yang sifatnya emosional semata. Bahkan bila dikatakan bahwa kecerdasan emosi berpengaruh pada 80% dari kesuksesan seseorang.
Ada sejumlah hal yang masih kurang dalam konsep kecerdasan emosi ala barat. Diantaranya adalah; tidak adanya komponen norma atau nilai, di dalam komponen kecerdasan emosi. Bila kita hanya mengikuti teori barat ini saja dalam hal pengembangan karakter, maka anak-anak kita tidak akan memiliki batasan perilaku. Asalkan tidak menyinggung orang lain, suatu perbuatan, yang melanggar nilai sekalipun, akan dianggap biasa dan dimaklumi.
Terbatasnya kecerdasan emosi hanya dalam 5 komponen diatas itu pun, tidak mengajarkan sifat etis, etika, dan humanisme. Misalnya; yang masuk dalam ethics adalah sifat tolong menolong. Karena komponen tersebut tidak termasuk dalam ranah kecerdasan emosi, maka sifat kemanusiaan kita sebagai satu umat pun tergerus. Banyak diantara kita yang tidak lagi sedih atau trenyuh melihat penderitaan korban perang atau korban bencana alam. Mengapa? Karena di dalam komponen emosi cerdas tersebut, yang ada *hanya unsur Empati, unsur memahami saja*. Dan bukanlah unsur simpati, untuk saling merasakan penderitaan orang lain, dan kemudian membantunya.
Keringnya makna dalam teori kecerdasan emosi ala barat ini, membuat masyarakat kita, yang menerima kebanyakan informasi dari barat, menjadi sakit secara spiritual, atau menderita spiritual pathology.
Tak adanya norma dalam elemen kecerdasan emosi ini pun, membuat lebih banyak pelanggaran sosial dan moral tersebar di masyarakat. Dan bahayanya lagi, paham kecerdasan emosi inilah yang diambil oleh banyak intelektual dunia yang kini menjadi pengambil keputusan, di tingkat nasional, lokal, dan global. Dan ini mengakibatkan, negativitas terus tersirkulasi secara luas melalui berbagai media.
Bahkan, karena pemahaman kecerdasan emosi yang salah kaprah ini, kampanye kemanusiaan yang menggunakan foto-foto korban pun kemudian harus menerima berbagai tuduhan keji sebagai penyebar propaganda, yang akhirnya melestarikan genosida satu umat yang hingga hari ini masih terus terjadi, di Syiria dan Myanmar.
Bahkan banyak dari umat yang hingga saat ini diam dan tidak melakukan apa-apa. Karena kecerdasan emosi kita dibatasi hanya pada batas empati, dan bukan simpati. Hati kita pun di-blok dari upaya menolong.
Ikuti ulasan Mental Blok dalam Edisi berikutnya.